Padang (ANTARA
News) - Pilihan menjadi seorang guru Pendidikan Luar Biasa awalnya
mungkin bukan cita-cita bagi banyak orang, termasuk Lifya, S.Pd, Guru
SLB (Sekolah Luar Biasa) Wahana Asih Padang, Provinsi Sumatera Barat. Apalagi
keinginannya untuk menjadi guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus
sempat mendapat lampu"kuning" dari kedua orang tuanya.
"Orang tua tidak melarang tetapi menolak secara halus. Ayah
memberikan pertimbangan bahwa mendidikan anak-anak berkebutuhan khusus
adalah tugas mulia namun tantangannya sangat berat. Demikian juga ibu,
meski seorang guru, beliau mengatakan mengajar anak normal saja susah
apalagi anak luar biasa," kata Lifya ketika mengisahkan awal dirinya
tertarik pada Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) setamat SMA.
Apa yang membuat
Lifya memiliki ketertarikan begitu besar pada SPGLB? Informasi yang
didapat dari berbagai sumber menyebutkan lulusan dari SGPLB akan
langsung bekerja dan ditempatkan di SD Luar Biasa di wilayah kota.
Selain langsung bisa bekerja, lulusan SGPLB akan diangkat menjadi
pegawai negeri sipil golongan II/b.
Lifya langsung membulatkan tekadnya untuk melanjutkan pendidikan D2
di SGPLB meski ia menyadari kedua orang tuanya belum sepenuh hati
mengizinkannya melanjutkan pendidikan di SGPLB. Namun, melihat kegigihan
putrinya, kedua orang tua Lifya akhirnya luluh dan memberi izin.
Setelah lulus dari
SGPLB pada tahun 1987, Lifya diberi arahan kepala sekolah untuk
melanjutkan kuliah di Jurusan Pendidikan Luar Biasa Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung atau saat ini dikenal dengan
Universitas Pendidikan Indonesia. Lifya menjadi satu-satunya siswa SGPLB
yang diterima di IKIP Bandung. Maka berangkatlah dirinya seorang diri
merantau ke tanah Pasundan untuk mencari ilmu.
"Ketika saya akan berangkat ke Bandung, seluruh warga desa tempat
saya tinggal mengantar saya seperti ketika hendak pergi berhaji.
Anak-anak berlarian di belakang bemo yang membawa ssaya sudah IV/b," kata perempuan kelahiran Padang, 4 April 1966 ini.
Pesan ayahnya pula untuk menyimpan semua dokumen yang dimiliki
dengan baik, ternyata sangat berguna. Saat dirinya membutuhkan berbagai
dokumen untuk pengurusan keikutsertaan dalam berbagai lomba, Lifya tidak
mengalami kesulitan sama sekali.
Mengabdi di kampung halaman
Setelah menamatkan kuliah dan mendapatkan SK pengangkatan pada
tahun 1994, Lifya kembali ke kampung halamannya untuk mengabdikan
ilmunya bagi masyarakat yaitu mengajar di Sekolah Muaro Budi di Desa
Kubur Harimau, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera
Barat.
"Nama Desa Kubur Harimau sempat membuat saya bergidik, maklum saja
dari namanya terkesan seram untuk didengar, meskipun belum tentu
keadaannya seseram namanya".
pun melangkahkan
kaki ke desa itu. Ternyata bangunan sekolah tersebut merupakan bekas
balai desa yang sudah tidak terurus sehingga penuh dengan debu. Namun,
kondisi bangunannya ternyata tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya.
"Jumlah murid saya pertama kali sebanyak 30 orang," kata Lifya.
Baru saja sekolah tersebut dibersihkan dan digunakan sebagai tempat belajar-mengajar, tiba-tiba saja api membakarnya.
"Tiba-tiba saja terbakar. Saya terpukul, dan bingung mencari tempat
bagi anak-anak didik saya," kata Lifya yang menganggap Solok menjadi
kampung keduanya.
Berkat bantuan seorang warga desa, Lifya menemukan tempat pengganti.
Namun, jangan dibayangkan tempat itu berupa gedung besar. Tempat itu
hanyalah sebuah warung yang terletak di pinggir jalan yang sudah tidak
lagi digunakan pemiliknya. Di tempat itulah proses belajar-mengajar
kemudian berlangsung. Meskipun hanya berupa warung, Lifya sangat
bersyukur karena pemilik warung meminjamkannya dengan ikhlas.aya," kenangnya.
Setelah lulus kuliah di IKIP Bandung tahun 1991 Lifya pernah
melamar menjadi dosen di almamaternya. Namun, begitu mendengar anaknya
melakukan itu ayahnya melarangnya. Ayahnya memberi pertimbangan, Lifya
akan lebih mudah naik pangkat jika mengajar di sekolah luar biasa
dibandingkan menjadi seorang dosen. Maklum saja ayahnya merupakan
pegawai di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (saat ini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan).
"Ternyata nasehat bapak benar, teman-teman kuliah saya dulu saat ini masih golongan III/c, namun Berkat bantuan
seorang warga desa, Lifya menemukan tempat pengganti. Namun, jangan
dibayangkan tempat itu berupa gedung besar. Tempat itu hanyalah sebuah
warung yang terletak di pinggir jalan yang sudah tidak lagi digunakan
pemiliknya. Di tempat itulah proses belajar-mengajar kemudian
berlangsung. Meskipun hanya berupa warung, Lifya sangat bersyukur
karena pemilik warung meminjamkannya dengan ikhlas.
Perempuan yang memiliki tiga anak ini juga menceritakan berbagai pengalaman unik lainnya.
"Saya sering mendapat tugas memotong rambut murid saya. Semua itu
saya lakukan dengan rapi. Pemotongan rambut ini bukan merupakan hukuman
seperti yang banyak terjadi kepada murid di sekolah," kata Lifya seraya
menambahkan bahwa kegiatan ini murni kegiatan sambilan di sela pekerjaan
utamanya sebagai tenaga pendidik.
Terkadang juga Lifya membawa murid-muridnya ke pancuran masjid untuk
menunjukkan kepada mereka cara mengurus diri sendiri, mulai dari mandi,
keramas, hingga mengganti pembalut karena `sekolah' mereka tidak
memiliki kamar mandi sendiri."Pengalaman saya
banyak sekali. Salah satunya adalah anak-anak menjadi sangat kuat karena
medan Desa Kubur Harimau cukup sulit`, kata Lifya yang sementara
berpisah dengan suaminya yang bekerja di Palembang .
Mungkin ini pulalah yang mengakibatkan dua anak didiknya pernah
menjadi juara I cabang olahraga atletik dalam Pekan Olah raga dan Seni
(Porseni) tingkat kabupaten.
Lifya memahami sepenuhnya bahwa profesi seorang guru membutuhkan
pengorbanan yang besar. Ia pun tidak pernah mengeluh, sebaliknya tetap
dengan tekun dan ikhlas melakukan segala tanggung jawabnya. Lifya
memahami bahwa tanggung jawab guru yang terpenting adalah merencanakan
dan menuntun para murid melakukan berbagai kegiatan belajar untuk
mencapai kemandirian sehingga anak didiknya kelak bisa tumbuh dan
berkembang di tengah masyarakat.
Setelah lima tahun mengajar di Solok, Lifya memutuskan untuk pindah
ke Kota Padang dan akhirnya ditempatkan di SLB Wacana Asih hingga
sekarang. Di tempat ini Lifya memiliki berbagai pengalaman yang tidak
kalah menarik dibandingkan ketika berada di Solok.
Di tempat baru ini Lifya selalu berangkat jam 07.00 WIB dari rumah.
Jarak dari tempat tinggalnya ke sekolah sekitar 17 kilometer, ditempuh
dalam waktu 30 menit.
"Rumah saya di gunung, sementara lokasi SLB Wacana Asih ada di dekat
pantai," kata perempuan yang menganggap Solok telah menggemblengnya
sehingga mampu menjadi guru yang tangguh dan Padang telah membuka
wawasannya untuk mulai berkiprah. Karakteristik
murid-murid di tempat barunya ini berbeda dibandingkan dengan
murid-muridnya di Solok. Murid-murid SLB Wacana Asih banyak yang
memiliki orangtua berpendidikan, sehingga mereka banyak yang memiliki
kemampuan melukis, membaca puisi atau berpantomim.
Baik di sekolah lama maupuan yang baru, Lifya tidak menemukan
hambatan berarti. Ia tetap dapat bercengkerama dengan murid-muridnya,
mengajarkan mereka berbagai keterampilan yang kelak dapat digunakan
untuk memulai hidup di tengah masyarakat
Prestasi buah kegigihan
Pada tahun 2010, Lifya menerima penghargaan sebagai Juara III Guru
Berdedikai Tingkat Kota Padang. Setelah itu ia menjadi Juara III Guru
Berdedikasi se-Kota Padang Tahun 2011 dan Juara II Guru Berdedikasi
se-Kota Padang Tahun 2012.
Prestasinya berlanjut di tahun 2013 dengan meraih Juara I Guru
Berdedikasi se-Kota Padang, Juara I Guru Berdedikasi Provinsi Sumatera
Barat serta menjadi Juara II Guru Pendidikan Khusus Berdedikasi Tingkat
Nasional.
Bagi Lifya, penghargaan yang diraihnya juga dipersembahkan untuk
suaminya, Duhani (48) dan kedua anaknya, masing-masing Hasanatul Aini
(20) dan Fahmi Fahrozi (17). Anak pertamanya saat ini kuliah di Jurusan
PLB Universitas Negeri Padang. Meskipun belum selesai, ia sudah mengabdi
dengan sukarela menjadi guru seperti dirinya.Pilihan menjadi
guru bagi anak berkebutuhan khusus ternyata bukan merupakan pilihan yang
salah, karena dengan kegigihannya Lifya berhasil memperoleh penghargaan
sebagai Guru Pendidikan Khusus Pendidikan Dasar Berdedikasi Tingkat
Nasional Tahun 2013, sebuah prestasi yang banyak diidam-idamkan oleh
banyak guru di seluruh Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar